Tidak
jarang kita menemukan pernyataan-pernyataan dan argumen yang sebenarnya
menyesatkan.
“Kambing ini mau disembelih”. Jika
kalimat di atas diuji secara kritis dengan pertanyaan siapa/apa yang mau
disembelih? Maka jawabannya adalah kambing. Seolah-olah kambing sudah
ditanyakan dan bersedia disembelih.
“Kambing ini mau saya sembelih”. Artinya
saya yang mau menyembelih kambing itu dan bukan kambing itu yang mau
disembelih. Itu
adalah contoh kesesatan bahasa yaitu kesesatan yang timbul karena
ketidak-sesuaian antara apa yang dipikirkan dan bahasa yang digunakan untuk
merumuskan pokok pikiran.
Falasia berasal dari fallacia atau falaccy dalam
bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’. Falasia didefinisikan
secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh ketidakdisiplinan
pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak
sengaja. Ia juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan ‘ngawur’.
Falasia sangat efektif dan manjur untuk melakukan
sejumlah aksi amoral, seperti mengubah opini publik, memutar balik fakta,
pembodohan publik, provokasi sektarian, pembunuhan karakter, memecah belah,
menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu.
Ketika
melakukan penalaran, kita harus berusaha keras untuk bernalar secara tepat.
Tugas
utama dari logika ialah mengidentifikasi cara di mana kita tergoda untuk
bernalar secara tidak tepat. Bernalar
tidak tepat bila premis sebuah argumen gagal mendukung konklusinya.
Ada
dua macam Kesesatan yaitu:
Kesesatan
Formal: kesesatan
yang terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip dan kaidah logika.
Kesesatan
Informal: kesesatan
yang lebih menyangkut aspek-aspek lain seperti materi, bahasa, cara dan pola
berpikir, berargumentasi serta pola penyampaian.